Blimbing, Besuki, Situbondo. tiga kata itu adalah tempat dimana saya tinggal sejak dari dalam kandungan sampai sekarang, banyak hal yang sangat menyenaangkan di daerahku Blimbing, Besuki, Situbondo... terutama untuk orang-orangnya, sangat-sangat ramah dan juga kompak dalam hal apapun, bangga deh jadi keluarga di besuki,situbondo. di temaptku ini ada sejarahnya, ini sejarah tentang besuki "klik disini"
Sejarah Kecamatan Besuki di Kabupaten Situbondo, Jatim, yang bersumber
dari peran tokoh Ke Pate Alos dari Pamekasan, Madura, tidak bisa
dilepaskan dari Kraton Solo.
Ke Pate Alos yang juga dikenal sebagai Raden Bagus (RB) Kasim Wirodipuro
adalah demang pertama Besuki. Tokoh yang legendaris di kalangan
masyarakat Besuki ini menurut sejumlah tokoh di wilayah itu memiliki
darah keturunan raja-raja di Solo.
Menurut tokoh masyarakat Besuki, Moh. Hasan Nailul Ilmi, ikatan nasab ke
Solo itu terjalin karena Raden Abdullah Surowikromo, kakek dari RB
Kasim Wirodipuro disebut-sebut sebagai saudara dari Raden Zaenal Abidin
alias Susuhunan Pakubuwono II.
"Saya lakukan pengecekan ke Madura, tepatnya di Desan Tanjung, Kecamatan
Pademawu, Pamekasan, disebutkan bahwa Rabden Abdullah itu saudara
Pakubowono II, tapi ketika saya cek ke Kraton Solo disebutkan bahwa
beliau justru putera dari Pakubuwono II," katanya.
Mengenai hal itu, katanya, dia memang belum mendapatkan kepastian.
Namun, yang dia yakini dari sejumlah literatur yang ditemukan arsip
nasional di Jakarta, Ke Pate Alos memang memiliki darah keturunan dari
Solo.
"Makanya tidak heran kalau keluarga keturunan Ke Pate Alos itu dulunya sangat fasih berbahasa Jawa tinggi," katanya.
Ia menjelaskan, Raden Abdullah adalah keluarga kerajaan di Solo yang
tidak mau kompromi dengan Belanda kemudian berkelana hingga ke Madura.
Anak dari keluarga bangsawan inilah yang kemudian membabat alas di
wilayah yang kemudian disebut Besuki.
Dalam buku Babad Besoeki yang ditulis sekitar 1882 M, dengan
penulis tidak tercantum disebutkan bahwa Besuki dulunya merupakan hutan
belantara. Meskipun berada di pinggir laut, wilayah itu merupakan daerah
subur.
Sementara pada waktu bersamaan, di wilayah utara Besuki, yakni di Madura
sedang dalam masa paceklik karena daerah itu tandus. Salah satu yang
merasakan kondisi paceklik itu adalah Raden Abdurahman Wirobroto, putera
dari Raden Abdullah Surowikromo yang tinggal di kawasan yang kini
menjadi Desa Tanjung, Kecamatan Pademawu, Pamekasan.
Dalam buku Babad Besoeki bertulis huruf Arab Pegon dan berbahasa
Jawa yang kemudian diterjemahkan oleh Moh. Hasan Nailul Ilmi itu,
disebutkan, untuk mengatasi kondisi paceklik berkepanjangan, Raden
Abduramhan mencoba mencari alternatif penghidupan ke selatan Madura yang
kemudian sampai di Besuki.
"Beliau waktu itu menggunakan perahu kecil yang oleh orang Madura
disebut perahu kerocok yang digerakkan dengan dayung. Saat itu tahun
1743 M, Raden Abdurahman sendiri pergi ke Besuki dan tiba pertama kali
di daerah Nambakor. Beliau sampai tiga kali berkunjung ke Besuki ini,"
katanya.
Sementara pada naskah Babad Besuki yang ditulis Edy Sudiono dan
kawan-kawan disebutkan bahwa kapal yang digunakan Raden Abdurahman
adalah kapal tongkang yang dilengkapi dengan layar.
Baik naskah yang ditulis oleh Edy Sudiono maupun yang diterjemahkan oleh
Hasan sama-sama menyebutkan bahwa Raden Abdurahman begitu takjub dengan
kesuburan wilayah Besuki yang saat itu belum diberi nama.
"Setelah membabat alas, beliau kemudian bercocok tanam di situ. Setelah
itu beliau pulang ke Madura. Beliau kemudian kembali lagi ke Besuki
dengan membawa anaknya bernama Kasim yang saat itu berusia sembilan
tahun, termasuk 20 orang kepala keluarga dari Madura," katanya.
Raden Abdurahman berada di Besuki hingga 1760 dan setelah itu kembali ke
Madura hingga meninggal di Tanjung, Pademawu. Kiprahnya diteruskan oleh
Ke Pate Alos.
Menurut Yoyok, tokoh pemuda yang juga gemar menggali sejarah Besuki,
karena masih keturunan bangsawan itulah, maka budaya maupun tatakrama
masyarakat di Besuki dan kemudian juga di Bondowoso, tergolong halus.
Moh. Hasan Nailul Ilmi yang kini memimpin jemaah istighasah setiap malam
Jumat di makam Ke Pate Alos tidak hanya gemar mencari koleksi data
mengenai sejarah Besuki.
Ia bahkan memiliki obsesi menggelar kegiatan setiap 12 Robiul Awal.
Tradisi itu merupakan kegiatan rakyat yang digelar oleh Ke Pate Alos
dengan nama "Bupak Bumi".
Tidak begitu jelas apa arti dari kedua kata itu. Hasan hanya menjelaskan
bahwa acara itu digelar di arena terbuka yang diikuti oleh masyarakat
Besuki dengan berbagai macam hiburan.
Mengenai kemungkinan ada penolakan dari tokoh agama, ia mengemukakan, acara itu harus dikemas secara Islami.
"Tujuannya bukan apa-apa, tapi untuk menyadarkan masyarakat Besuki bahwa
mereka itu memiliki sejarah besar di masa lalu," katanya.
Meminjam istilah budayawan Emha Ainun Nadjib saat mementaskan lakon
teater berjudul Tikungan Iblis beberapa waktu lalu, masyarakat Nusantara
sebetulnya adalah turunan rajawali, tapi kini menjadi emprit karena
keadaan.
Hasan agaknya ingin menyadarkan masyarakat Besuki bahwa mereka adalah
"keturunan" tokoh berkualitas rajawali, tapi dalam perkembangan sejarah
terus meneruskan ’diempritkan".
Bersamaan dengan itu, ia juga mengajak masyarakat untuk bersama-sama
menyelamatkan warisan budaya masa lalu leluhurnya yang kini masih
tersisa, termasuk gedung kantor bekas keresidenan dan kewedanan.
Hasan menyayangkan tidak terurusnya warisan budaya itu, termasuk tidak ada perhatian dari pemkab setempat.
"Dulu gedung bekas keresidenan dengan kewedanan itu menggunakan marmer
Italia, tapi sekarang sudah lenyap semua diganti dengan tegel biasa. Ke
mana marmer-marmer itu?," katanya.
Sementara Fadli Haroen (39), juru pelihara makam Ke Pate Alos
mengemukakan, saat ini tidak ada perhatian serius dari pemkab untuk
memelihara warisan yang oleh masyarakat dikeramatkan itu.
"Malah justru orang-orang China yang banyak membantu, termasuk
membuatkan cungkup makam zaman dulu. Sekarang juga banyak orang China di
Besuki ini yang peduli pada makam ini," katanya.
Pemkab Situbondo sendiri beralasan kesulitan menangani benda peninggalan
sejarah di Kota Kecamatan Besuki, karena ada yang dikuasai perorangan.
"Ada beberapa peninggalan sejarah Besuki yang dikuasai perorangan atau
yayasan. Seperti Makam Ke Pate Alos kini dikelola oleh yayasan sehingga
Pemkab kesulitan menangani," kata Kepala Dinas Perindustrian,
Perdagangan dan Pariwisata Kabupaten Situbondo, Agus Cahyono.
Ia mengemukakan, Pemkab akan lebih leluasa mengelola aset itu jika
memang keberadaannya menjadi "milik" pemerintah daerah. Kalau dikelola
oleh yayasan, ia mengaku pemkab susah untuk "masuk".
"Sementara aset berupa bangunan kuno bekas karesidenan yang ada di
sebelah timur kantor Polsek, kami masih melacak kepemilikan tanah di
tempat itu, sementara bekas kantor kewedanan yang di selatan alun-alun
kini memang dikelola pemkab," katanya.
Ia mengemukakan, bekas kantor kewedanan itu kini sebagian ditempati
untuk kantor SMA Negeri 1 Besuki yang memang baru berdiri. Penggunaan
itu dianggap tidak masalah karena tidak mengubah bangunan aslinya.
"Kami berupaya nantinya gedung itu akan kami jadikan perpustakaan," katanya singkat.
Ia mengakui bahwa Kota Besuki dulu pernah menjadi kabupaten dan
keresidenan, dan menyimpan banyak aset bernilai sejarah tinggi. Namun,
untuk membuktikannya dia merasa kesulitan mendapat sumber informasinya,
kecuali hanya melalui cerita di masyarakat.
No comments:
Post a Comment